“Mari pejamkan mata. Lupakan sejenak perihal ‘malam esok’. Yang entah kenapa seolah seluruh manusia membicarakannya.”
— Rintihan Hujan
===============================================
365 Hari
Matahari masih setia. Menemani sang bumi teguh melintasi jalurnya.
Matahari masih setia. Menemani bumi datang kembali ke tempat asalnya. Matahari masih setia. Menemani bumi bertemu dengan cintanya. Matahari masih setia. Menemani bumi meyusuri waktu hari harinya.
===============================================
Semarak angin selama itu membawa teduh. Teduh bertemu setetes embun penyambut fajar. Meneteskan ujian hidup dipangkuan dedaunan.
Sorak sinar semakin meninggi menguapkan segalanya. Berusaha menyambut hari melawan panas ataupun dingin. Terkadang hujan datang bersama deras. Jatuh menukik di atas punggung bersemayam. Menambah beban di pikul lusuh bekas badai menerjang.
===============================================
Gontai ia berjalan di atas tanah yang basah. Menapak pelan meninggalkan jejak jejak hikmah. Sesekali tergelincir di jalanan licin. Namun semakin kuat kakinya melangkah kedepan masa. Ingin sekali mendongakkan wajah ayu nya menyaksikan indahnya barisan air langit yang tumpah. Namun tak kuasa. Tak kuasa memandang indahnya jatuhan nikmat yang tiada habisnya. Karena hujan tak akan selamanya.
===============================================
Pelangi mencari celah di tiap waktu yang berjalan. Ingin menitipkan senyuman melalui seseorang. Yang sekilas terlihat indah lalu perlahan memudar. Menyisakan suka yang menghapus duka. Bertemu kembali dengan terik yang menghapus rautnya. Melukiskan bahagia di balik awan gelap yang terjaga.
===============================================
Senja kan tiba. Mengulirkan segalanya. Di bawah kuasa Nya. Ditepi garis berwarna merah, matahari meyempatkan berkata, aku masih setia.
===============================================
Rembulan yang sudah menunggu, tersenyum semakin membundar. Mendengar matahari menyampaikan pesan. Rembulan yang pendiam, selalu berteman bintang. Ia tak pernah sendirian. Mendamaikan malam dan hati yang tak tentram. Nyenyak menemani hati menyambut mentari, lagi.
===============================================
Bernostalgia
nostalgia/nos·tal·gia/ n 1 kerinduan (kadang-kadang berlebihan) pada sesuatu yang sangat jauh letaknya atau yang sudah tidak ada sekarang; 2 kenangan manis pada masa yang telah lama silam;
bernostalgia/ber·nos·tal·gia/ v 1 melepaskan rindu setelah lama tidak bertemu; 2 mengingat peristiwa-peristiwa manis yang pernah dialami pada masa lalu
–
Aku suka bernostalgia. Bernostalgia bisa membuatku tersenyum malu, tertawa gembira, dan merasa bangga walau terkadang bernostalgia bisa juga membuatku merasa sedih dan hampa.
Tidak ada yang salah dengan bernostalgia. Aku yang menanamkan mindset di dalam pikiranku agar tidak menyesali apa yang sudah terjadi fine-fine saja dengan bernostalgia. Walau tidak semua kejadian yang terjadi di masa lalu itu indah, kejadian buruk pun tak ada salahnya diingat-ingat sebagai suatu momen yang pernah terjadi dalam hidup kita.
Bernostalgia membuatku bersyukur. Setidaknya ketika aku sedang menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu aku butuhkan, hal yang bisa menahan keinginanku itu adalah dengan bernostalgia. Melihat foto-foto lama, misalnya. Terkadang kita lupa bahwa kita pernah mendapatkan dan merasakan semua kenangan yang pernah kita alami, sehingga kita butuh sesuatu untuk mengingatkan kita, dan bernostalgia adalah salah satu caranya.
Bernostalgia menjadi salah satu alasanku menyukai fotografi. Aku menangkap momen-momen dengan harapan aku bisa bernostalgia dengan momen itu di masa yang akan datang. Sesederhana ketidakinginanku melupakan setiap peristiwa yang berharga. Seperti hari-hari terakhir di tahun 2015 yang kulewatkan dengan membuka kembali folder foto-foto lama, sambil membayangkan setiap kenangan manis yang tersimpan di dalamnya.
===============================================
Akhir 2018
Kalau ga salah inget, tahun ini lebih banyak keluhan daripada tahun sebelumnya. Bagus. Kemajuan kalo kata aku mah. Pertahanin jangan di tahun selanjutnya?
Banyak gagalnya, banyak jatuhnya, tahun ini berat. Tapi ga berasa aja gitu, udah mau ganti kalender. Jadi mahasiswi tingkat 3 yang masih bertahan PP Ciledug – Ciputat walaupun tiap sampe rumah sambat capek melulu, kkn sama magang selama di Makassar yang bikin belajar buat lebih mandiri, masalah percintaan yang kandas (berkali-kali), di playing victim sama temen yang udah deket banget sampe putus hubungan dan akhirnya balik lagi dengan rasa yang beda (hambar), hilang rasa percaya sama beberapa orang yang aku kira baik ternyata jauh sekali dari kata baik. Ehe.
Belum lagi tahun ini awal nyusun skripsi, ngajuin judul yang agak terlambat karna sempat ada masalah sama seorang laki-laki, proposal yang terbengkalai karna kecerobohan sendiri, ada di satu circle toxic yang sampe sekarang aku belum berani nge-cut-nya, baru-baru ini ada yang datang lagi (katanya dari masa lalu) yang padahal dulu sudah say bye, penyesalan-penyesalan, belum mampu damai sama diri sendiri belum memaafkan diri sendiri, masih belajar buat terus sayang sama diri sendiri.
Pahit, memang. Namanya juga idup.
Tapi dari apa yang udah terjadi, aku belajar banyak sekali. Aku jadi bangkit dari payahnya hidup, entah untuk yang ke berapa kali, aku ketemu sama orang baru yang ngajarin aku banyak hal, aku sanggup ikhlas melepas apa yang memang sudah waktunya untuk lepas, aku kehilangan tapi aku kasih kesempatan buat diriku untuk memberi lebih, aku tau siapa aja yang harus aku pertahankan, aku lebih bisa kontrol diri buat lebih manusiawi (ga asal iya-iya aja).
Dari semuanya, aku jadi perempuan yang lebih tangguh. Ga cuma soal perasaan, tapi soal hidup. Banyak yang harus aku selesaikan di 2019. Skripsi, pastinya. Ada yang mesti aku bagi ke banyak orang sekaligus aku cari lebih banyak, pengalaman. Pun ada yang perlu aku jaga, positive circle-ku.
Akhir 2018 ini, justru awal mula dari mimpi yang akan aku perjuangkan. Aku memperbaiki hidupku yang kayaknya makin kusut. Semua rasa kecewa, nyesel, sakit hati, iri baiknya aku buang, kesehatan mentalku lebih penting.
2019, boleh ya aku ngeluh lagi? Biar aku tambah dewasa tiap menyikapi apapun yang terjadi.
===============================================
365 of 365
Genggam tanganku
Jangan kau lepas
Nanti kau jatuh
Sebab kau belum bisa berjalan
===============================================
Kugenggam tanganmu
Jangan kau tepis
Kuajarkan kau berjalan
Supaya kau bisa berlari
===============================================
Kelak, kau kan meninggalkanku
Dan aku akan mengejarmu
Sebab rinduku padamu sudah terakumulasi
===============================================
Kelak, aku akan mencarimu
Dan kau akan lupa kalau aku yang mengajarimu berjalan
===============================================
Jangan tepis tanganku
Meski kau sudah bisa berjalan
Meski kakimu sudah kuat untuk berlari
Kita akan terus saling menggenggam.
===============================================
pernah-bahagia
Kamu bilang, menjadi diriku sendiri itu baik
Tapi, kamu nyaris menepis tanganku karena aku memalukan
Aku tidak secantik teman-temanmu
Tidak secerdas mereka
Tidak bisa mengikuti seperti apa yang semua orang lakukan
Aku bertahan menjadi diriku sendiri, sebab kamu bilang, itu cukup
Tapi, waktu berlalu
Dan kamu sama sekali tidak menunjukkan kalau kamu merasa puas memilikiku
Kamu tidak pernah menceriterakanku pada orang-orang
Atau membawaku ke acara-acara pentingmu
Aku hanya tinggal di rumah
Kau sapa sesekali
Dan kau pandang dengan enggan
Sayang, aku berubah
Kau tanya, kenapa?
Aku jawab, tak apa.
Hanya sekali kau tanya
Setelah itu, kau lupa dan malah menikmatinya
Aku bukan lagi diriku
Tapi kau tampak menyukai itu
Jadi, disinilah aku,
Bertahan dengan puing-puing harapan
Mencoba untuk berdoa
Harapku sederhana, bisa kembali berpijar di matamu
Tapi, tampaknya itu terlalu muluk
Aku masih berdiri sayang
Tanganku terkatup rapat
Memohon pada malaikat
Supaya kau membuka mata dan terjaga
Sebab aku, ingin kembali menjadi diriku
Tapi, jika kau tak ingin itu
Aku tak apa tetap begini.
Aku tetap akan berpura-pura
Asal kau tetap setia untukku.
===============================================
“Aku tidak sabar menunggu tahun yang baru. Terkadang untuk melakukan perubahan dibutuhkan suatu momentum. Ya, inilah yang kuucapkan dari tahun-ke-tahun, di waktu menjelang pergantian tahun. Api semangat dan kuatnya keinginan tiap tahun berbeda-beda, namun ketidaksabaran dan harapan itu akan selalu ada.”
Akhir tahun
“Aku melihat langit biru dan aku tahu kamu mungkin juga sedang melihatnya.”
Beberapa tahun ini cakrawala ku berpijar tanpa cahaya. Segala sesuatunya ada, tidak segalanya benar tapi juga tidak segalanya salah. Aku tersesat. Aku berlarian diantara waktu dan mencoba mengejar sesuatu untuk ku genggam pasti. Lantas kemudian aku kelelahan dan menyadari aku tak pernah benar-benar mengejar apa-apa. Aku hanya berlari dan terus berlari untuk diriku sendiri.
Aku menemukan dia dalam pelarian dan merasa terbang dengan sayapnya yang semu. Dia mirip kamu dan itu sudah cukup membuat ku buta. Aku masih tersesat tapi aku merasa aman karena dia tersesat bersama ku. Dan saat sayapnya meredup, lalu menghilang sama sekali aku melihat lagi. Dia palsu, kami semu dan aku tidak aman. Sekarang aku tersesat dan marah.
Aku berharap sesuatu akan terjadi, setidaknya biarkan aku mendapat sepotong kecil peta untuk terus beralasan tetap berdebar. Aku berteriak pada angin dan mereka membisikkan sapaan mu. Aku menemukan sepotong peta ku.
Bisikkan itu lalu berlari dan menghantam ku dengan ucapan nyata. Kamu ada, terdengar dan tergapai lagi oleh pikiran ku. Aku menemukan debaran lagi dan merasa cukup untuk berlari. Tapi itu menurutku. Keadaannya kamu nyata tapi bukan lagi hati ku. “Kita” adalah bahasa muram masa lalu dan kamu sudah berpindah ke masa depan dengan pilihan baru. Aku patah, tersesat lagi tapi kini dengan pengertian yang lebih sederhana.
Aku cemburu. Dan Cinta tidak cemburu. “Kita” sudah ada diluar lingkaran masa lalu dan tidak akan bergerak masuk lagi. “Kita” bukan lagi aku dan kamu. Entah kemana jantung ku berpindah.
Lalu aku terdampar lagi di masa lalu yang lain. Masih tersesat, tapi menemukan sepotong peta lagi. Kamu mengenal potongan itu? Dia pernah bersama ku setelah kamu. Dia pernah bersama mu sebelum bersama ku. Dia orang itu.
===============================================
Sebuah Nasihat
Saya paling bisa membalas omongan jahat orang dengan kata-kata yang lebih jahat. Otak saya terdiri dari kumpulan kamus kata-kata positif dan super negatif yang bisa muncul jika diri merasa terancam.
Orang yang berkata jahat pada saya, sebagiannya tidak tahu bahwa saya bisa jauh lebih menyakiti mereka. Sebagiannya tahu, karena pada akhirnya saya tidak selalu bisa menahan diri dan memuntahkan kata-kata yang lebih menyakitkan bagi mereka yang menyakiti saya, meski tidak saat itu juga.
Saya sering teringat kejadian di tahun pertama saya kuliah dulu. Saya cerita pada seorang teman baik, bahwa saya sebal pada seseorang dan akan membalas dengan kalimat yang sama menyakitkannya.
Nasihat teman saya sederhana, “kalo lu bales, apa bedanya lu sama dia?”
Dan nasihat itu sering bisa menjadi pengendali saya, apakah sebuah perkataan negatif harus dibalas karena orang tersebut harus tahu bahwa dia salah, ataukah harus didiamkan karena tidak ada gunanya.
Kalau iman sedang baik, semua dikembalikan pada Yang Menciptakan Bibir, dia yang bisa membungkam orang zalim (termasuk saya sendiri mungkin di banyak kasus) dengan cara-Nya. Kalau iman sedang kurang baik, akan muncul dendam tak berkesudahan.
Pada dasarnya, semua kejadian yang membuat hati berasa buruk butuh diistighfari. Barangkali kita diingatkan pada perbuatan kita yang tidak menyenangkan, atau sekedar untuk ujian kesabaran.
============================================
Ada beberapa kenangan yang
tak ingin kau lupakan,
tapi nyatanya tak bisa kau ingat.
Ada beberapa kenangan yang
tak ingin kau ingat,
tapi nyatanya tak bisa kau lupakan.
Bagi beberapa kenangan,
ingatan adalah ruah
dan
bagi beberapa kenangan,
ingatan hanyalah tempat singgah.
–G.N
===============================================
Aku Bisa Menunggu
Aku terlalu terbelenggu oleh kata-kata yang untai menuju masa lalu. Kata-kata yang lahir dan menemui kematiannya sendiri. Karena di masa lalu hanya ada kenangan-kenangan yang kelak tersapu dan terlupakan. Kenangan yang kunamakan “tujuh tahun” dan “dua tahun”.
Kenangan itu membuatku lupa, bahwa perjalananku bukanlah untuk alasan yang dipaksakan indah dan untai. Ada masa depan yang dicitakan.
Dan itu kamu.
Menemukanmu dalam keindahan kata-kata bukanlah tujuanku. Perjalanan ini mengubahku terlalu jauh dan aku harus berusaha keras untuk kembali pada kehidupan lama itu.
Aku sungguh lupa bahwa yang kubutuhkan taklebih dari kesederhanaan. Kumpulan kata-kata yang membentuk kesederhanaan untuk apa pun: perihal bahagia, sedih, dan juga menemukanmu. Karena untukmu, aku ingin berdiri dalam jarak di mana kelak kau akan menemukanku juga dengan sekotak rindu yang sudah kusiapkan berlapiskan beludru.
Untuk membersamaimu, aku bisa menunggu.
Jakarta,
18 April 2017
============================================
Tidak Ada Engkau Hari Ini
untuk ‘hidupku’
Pada mulanya, aku adalah kosong.
Mula adalah tengah persimpangan;
ketika aku masih perlu mengenal rambu.
Waktu telah rela kukecup
habis selama dua puluh tiga tahun;
—dan lebih dari satu tahun
sebelum cinta sampai
dan jatuh kepadamu.
(mungkin bukan cinta, hanya
hal yang ternyata ‘sama’ saja)
Persimpangan kutempuh.
Mendekati atau menjauhi,
aku belum tahu, karena
jalan terlihat seperti tiada ujung.
Lampu-lampu jalan menguning
ketika aku menggenggam sebanyak sisi gelap
diri ke dalam jemarimu
—Dan matamu yang terkadang
merasakan marah, bersembunyi
dan beradu dengan ketidakyakinan.
Melihatnya, aku merasa:
Hidup seperti mengulang kesalahan-kesalahan,
dan kita dibuat tidak pernah merasa bisa
menunjukkan daya, yang banyak dibicarakan
orang-orang—Apa cinta selemah itu
Sayangku?
Katamu, manusia tak seharusnya
berhenti belajar dan mengerti.
Kejatuhan demi kejatuhan,
semakin memperjelas bahwa cinta
menjadi semakin baur
kabur dengan hal-hal yang tidak pernah
kita ingin ketahui—merasakannya
hanya membuatmu lara
dan menangis dengan tatapan berdosa
Aku sendiri jatuh; jauh ke dalam
palung matamu. Aku bertanya
tapi jawabanmu selalu mental
dengan tidak tahu; dan tidak tahu
adalah jawaban; karena marahmu
pada diri sendiri menampar kaku
mukaku yang—ternyata—tidak pernah
bisa menguasai diri dan mata hati
Sampai pada masa itu, aku kembali
pada mula yang kosong. Terhadap
hidup tidak ada isi apa-apa;
dan terhadap cinta yang menghulu
kepadamu—hanya tersisa huruf-huruf
yang dahulu adalah buku
Aku menangis, karena buku
adalah kumpulan kata-kata
yang maknanya tertampung
sedemikian rupa tentangmu
—dan sudah kesekian kalinya
aku sendiri yang menghancurkannya;
berhamburan
Tapi, kau selalu sabar menuntun
dan menyusun kejatuhanku
pada jiwaku yang hilang bentuk
—mencintai aku yang kesekian kali
dan mempercayai (?) aku keserupa kali
Kini, aku mengisi kebermulaanku
—atau kematianku?—dengan memantik
suci api pada lilin harapan hidupmu
Kosong, kuisi kembali buku-buku
dengan kata yang berhamburan
pada lantai yang pekat dengan
air mata—atau penyesalan?
Tanganku bergetar dan nafasku
tak berhenti sesengukan
dan—lagi-lagi—kau merasakannya;
mendekapku ke dalam dadamu
—yang hangat dan harum
dan jantungmu yang memompa
tanda tanya
Kudekapkan tanganku
—yang gemetar
pada dada sendiri
melingkar tanganmu
pada punggungku
untuk terakhir kali
lirih dan syahdu suaraku:
—Sayang, inikah akhir
yang selalu kita tunggu?
============================================
JANGAN
Jangan rindu, itu candu.
Jangan cinta, itu siksa.
Jangan sayang, itu meradang.
–G.N
============================================